Madinah, 16 Dzulhijjah 1444 HWibowo Prasetyo : Anggota Tim Pengawas PPIH Arab Saudi 1444 H Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Infoasatu.com,Makassar–Operasional penyelenggaraan haji Indonesia 1444 H/2023 M masih berlangsung dan kini mendekati fase akhir. Terhitung mulai Senin (10/7/2023), jamaah yang masuk dalam gelombang kedua digeser dari Makkah ke Madinah. Di Kota Nabi ini, jamaah akan tinggal selama delapan hari dan menjalankan shalat arbain atau shalat wajib selama 40 waktu di Masjid Nabawi. Agenda lain para jamaah adalah menjalankan ibadah-ibadah sunnah hingga berziarah ke berbagai destinasi yang kental akan sejarah Islam.
Pergeseran jamaah secara bertahap ini juga sekaligus menandai bakal semakin berkurangnya jamaah haji Indonesia yang tinggal di Kota Suci Makkah. Tentu, efek pergeseran ini membuat Makkah dan Masjidil Haram yang menjadi episentrum ibadah menjadi tidak sepadat dibandingkan pekan-pekan sebelumnya. Di sisi lain, bagi jamaah gelombang kedua yang akan bergeser ke Madinah, bayangan akan tinggal di kota yang begitu ramah, nyaman, dan nikmat untuk beribadah seolah kian di depan mata.
Bayangan akan penuh kenikmatan itu sepenuhnya tak berlebihan. Madinah memang kota yang penuh dengan kemudahan. Jarak antara pemondokan atau hotel jamaah dengan Masjid Nabawi sangatlah dekat. Umumnya hanya berjarak 300-800 meter dari masjid saja. Kalaupun lebih ada yang jaraknya lebih jauh dari itu, misalnya, 1 km, tetap saja masih terasa nyaman. Ini membuat jamaah masih cukup memiliki persiapan untuk menuju masjid.
Tak perlu harus naik bus, taksi atau transportasi lain layaknya di Makkah. Jemaah hanya cukup keluar hotel dan jalan kaki. Dalam hitungan menit sudah bisa sampai ke dalam masjid. Bagi jamaah lanjut usia (lansia) atau yang beraktivitas terbatas seperti harus menggunakan kursi roda, dekatnya hotel dan masjid ini juga tentu menjadi kelegaan tersendiri.
Totalitas Layanan
Meski terasa lebih mudah dan nyaman, sejatinya jamaah tak perlu merisaukan saat berada di Tanah Suci. Sebab, baik selama di Makkah dan Madinah, jamaah tetap mendapatkan layanan yang tak henti. Ya, karena pemerintah Indonesia telah mengerahkan banyak petugas haji yang profesional untuk melayani para tamu-tamu Allah (dhuyufurrahman) ini di manapun dan kapanpun.
Lebih-lebih, kebijakan pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) yang memberikan perhatian besar terhadap para jemaah lansia lewat tema ‘Haji Ramah Lansia’ tahun ini, membuat jamaah tak perlu dihadapkan pada rasa khawatir, takut atau ragu sedikit pun. Sejak dari Tanah Air, di embarkasi, bandara keberangkatan, di dalam pesawat saat penerbangan, di bandara kedatangan, hotel di Makkah, Madinah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan hingga di debarkasi saat kembali ke Tanah Air, seluruhnya mendapat pelayanan tak terputus.
Saya menyaksikan sendiri begitu optimal dan besar manfaat dari kebijakan baru yang dicetuskan langsung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tersebut. Di asrama haji, misalnya, jamaah yang masuk dalam lansia mendapat layanan prioritas seperti ketika menjalani pemeriksaan dokumen, kesehatan, masuk kamar dan lain sebagainya. Demikian pula ketika akan naik pesawat, selalu ada petugas kloter yang siaga memantau dan mendampingi mereka.
Pengawalan secara dekat dan setulus hati bak orang tua sendiri ini jelas membuat jemaah terlihat lebih tenang sekaligus merasa sangat dihargai. Pelayanan tak henti juga terlihat saat jemaah tiba di Arab Saudi, baik yang masuk lewat Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz Madinah (gelombang 1) dan Bandara King Abdul Aziz Jeddah (gelombang kedua). Lagi-lagi di dua bandara, saya melihat dengan mata kepala sendiri begitu totalitasnya petugas melayani jemaah lansia. Di dua titik ini, kerap sekali jemaah dihadapkan pada kondisi lelah yang berat karena sebelumnya menjalani penerbangan panjang. Beberapa jamaah lansia pun menjadi kerepotan untuk berjalan, lebih-lebih harus menjalani berbagai pemeriksaan di bandara.
Namun kerepotan-kerepotan ini dijawab dengan kesigapan para Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja Bandara. Mereka, baik petugas laki-laki atau perempuan, tampak cekatan mendampingi, menuntun, bahkan tak sedikit yang membopong dan menggendong jamaah lansia. Sebagian lagi membantu mengambilkan makanan, menyuapi, mengantar ke toilet, bahkan membersihkan kotoran mereka saat buang hajat.
Tak ada rasa keterpaksaan atau ketidakrelaan petugas-petugas itu bekerja. Mereka terlihat sangat ikhlas dan begitu tulus seolah membayangkan yang mereka dampingi, kawal, tuntun, bopong, gendong itu adalah orang tua sendiri. Bayangan jemaah akan kerepotan pun berubah menjadi kemudahan bahkan rasa persaudaraan.
Setiba di hotel, para jamaah lansia juga tak henti disambut hangat petugas sektor. Oleh petugas, jamaah dengan aktivitas terbatas diposisikan di kamar khusus, seperti di dekat lift. Ini bertujuan untuk memudahkan mobilisasi, pemantauan, pemeriksaan kesehatan dan lainnya. Ketika jamaah akan meninggalkan kamar, maka petugas sektor juga memastikan para jamaah lansia bisa ikut turut serta, entah harus dikawal atau dinaikkan dengan kursi roda dan lain sebagainya.
Demikian juga ketika haji memasuki fase puncak, yakni di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Saya sengaja menyempatkan berkeliling ke tenda-tenda jemaah dan menemukan banyak jemaah lansia bisa beribadah dengan baik. Ini lagi-lagi karena di setiap maktab, telah disiapkan banyak petugas yang khusus untuk mengawal mereka. Maka meski sudah uzur, mereka tidak lagi kesusahan untuk ke toilet, makan, minum, berdoa dan lain sebagainya.
Meski uzur atau sakit, rukun ibadah haji juga tak sedikit pun terlewatkan. Ini karena ada petugas khusus yang membantu mereka seperti melakukan safari wukuf bagi jemaah sakit. Demikian pula, ada beberapa petugas yang khusus untuk menjalani badal (pengganti).
Bahkan yang membuat saya sangat terharu, tak terhitung petugas haji yang rela menggendong jemaah lansia saat berangkat atau pulang melempar jumrah. Kadang tidak hanya di waktu malam, petugas itu juga sering menggendong jamaah di bawah terik matahari yang begitu panas plus berpijak di atas tanah Mina yang tak kalah panasnya. Peluh, keringat, kulit terbakar tak mereka hiraukan. Yang tampak adalah tingginya rasa hormat, sayang nan penuh keikhlasan hanya mengharap ridha Allah swt.
Tentu menghitung petugas yang begitu totalitas bekerja melayani jamaah lansia ini adalah sesuatu yang mustahil. Namun, cerita perjalanan saya ini dan dokumen-dokumen yang tersebar di berbagai media massa atau media sosial selama ini telah menguatkan bukti bahwa kehadiran petugas layanan lansia itu nyata. Keberadaan mereka yang bekerja sangat profesional lantaran menjadi bimbingan teknis dan sejumlah pelatihan plus didukung dengan berbagai fasilitas khusus seperti kursi roda, kruk, tongkat, walker hingga golf car sangatlah bermanfaat.
Kita tahu, sejatinya jamaah lansia tak kali ini saja ada. Namun melihat begitu besarnya kuota tahun ini, yakni 229.000 orang dan jumlah jamaah lansia pada hampir 70.000 orang, maka keputusan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang membuat tema dan layanan dan khusus adalah sebuah terobosan besar. Sebagai pemimpin, Menag begitu berani membuat gebrakan meski untuk menciptakan kesadaran ini harus berjuang dengan jalan tak ringan. Belum lagi, anggaran yang terbatas harus disiasati dengan teliti agar jamaah lansia benar-benar bisa terlayani dengan optimal. Menag telah memberikan berbagai bukti bukan sebatas janji atau slogan dan tulisan mati.
Benchmark Haji Indonesia
Penyelenggaraan haji 2023 telah menunjukkan bahwa layanan ‘Haji Ramah Lansia’ adalah sebuah keniscayaan. Model dan sistem layanan baru ini telah terbukti banyak memberikan kemudahan, kebaikan, ketenangan, dan kenyamanan bagi puluhan ribu jamaah lansia Indonesia.
‘Haji Ramah Lansia’ menunjukkan negara hadir sepenuhnya untuk memberikan pelayanan, pendampingan dan perlindungan terhadap warganya. ‘Haji Ramah Lansia’ juga membangun bersama dan mewujudkan jamaah agar tetap sehat, aktif, dan mandiri. Yang tak kalah penting dan sangat berharga, ‘Haji Ramah Lansia’ ini menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai bangsa yang sangat luhur dan istimewa, yakni kegotongroyongan, kebersamaan, penghormatan, persaudaraan, dan persatuan.
Tentu sebagai sebuah model layanan anyar, ‘Haji Ramah Lansia’ belum sepenuhnya bisa berjalan dengan sempurna. Saya menyadari dan melihat masih ada beberapa poin yang perlu dievaluasi dan segera dibenahi. Meski sudah ada 4.500 lebih petugas, tapi jumlah itu sangatlah kurang. Demikian juga fasilitas pendukung masih perlu banyak ditambah. Namun layanan ‘Haji Ramah Lansia 2023’ ini telah menjadi modal besar Indonesia—juga role model—untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji Indonesia di masa mendatang.
Harapan besar ini tak berlebihan. Sebab, akibat kuota yang terbatas dan terus tingginya minat umat Islam berhaji, jumlah jamaah yang antre untuk beribadah ke Tanah Suci terus meningkat tajam. Peningkatan ini juga akhirnya berdampak pada tingginya pula jamaah lansia di masa mendatang. Besarnya lansia ini harus dikelola dengan matang sejak dini agar tidak menjadi masalah besar yang justru dikhawatirkan jadi bumerang.
Keberhasilan layanan ‘Haji Ramah Lansia 2023’ pun sejatinya menjadi jangkar yang mengikat kuat untuk peningkatan, pengelolaan dan pembenahan haji di masa depan. Saya optimistis jika ikhtiar ini benar-benar dilakukan serius dan tulus, maka penyelenggaraan haji Indonesia di masa mendatang kian terorganisir dengan baik dan operasionalnya mulus.