Warga Ujung Tanah Terancam Digusur!
Infoiasatu.com,Makassar--Sebagian warga di Kelurahan Ujung Tanah, mulai was-was terhadap ancaman penggusuran. Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH-YLBHI) mencatat, terdapat 61 unit bangunan milik warga bakal digusur. Ratusan warga ini tepatnya tinggal di Jalan Kalimantan dan Jalan Ujung Tanah.
Titik konflik ini berada persis di balik tembok wilayah Depot PT Pertamina dan bangunan perusahaan Eastern Pearl Flour Mills. Perkara ini menurut LBH Makassar bergulir sejak 13 Mei 2024, dipicu adanya surat teguran yang dilayangkan oleh pihak Kelurahan Ujung Tanah.
Surat bernomor surat 19/UT/V/2024 tertanggal 16 Mei 2024 ditandatangani oleh lurah setempat, Ridwan. Surat itu berisikan perintah agar seluruh warga yang menempati wilayah tersebut untuk angkat kaki. Termuat dalam surat, pihak kelurahan mengklaim bahwa tanah yang ditempati oleh warga merupakan aset daerah milik Pemkot Makassar.
Surat teguran yang berisi perintah ini dikirimkan secara bertahap, masing-masing pada tanggal 13 Mei 2024 dan 16 Mei 2024. Warga baru mengetahui adanya rencana penggusuran setelah menerima surat teguran yang pertama. Tidak ada sosialisasi atau penyampaian kepada warga lebih dulu oleh pemerintah setempat.
“Awalnya kami tidak mengetahui rencana penggusuran. Infonya kami ketahui setelah adanya surat yang dikirim secara mendadak. Ketika kami ingin meminta klarifikasi, pihak kelurahan malah menghindar,” kata Lukman, warga setempat yang terancam digusur.
Rencana penggusuran ini direspon oleh warga dengan menggelar aksi protes. Warga berdalih tanah yang akan diambil pemerintah telah ditempati berpuluh tahun lamanya. “Dan dengan secara tidak berperikemanusiaan pemkot masuk dengan mengusik dan memaksa warga untuk angkat kaki,” kata Lukman.
Seharusnya kata Lukman, Pemkot Makassar memberikan perlindungan kepada warga. Pihak kelurahan juga mestinya menempuh jalur atau mekanisme hukum yang berlaku. “Bilamana adanya klaim hak atas tanah, maka harus ditempuh melalui jalur peradilan,” Lukman menegaskan.
Menurut warga, klaim pemerintah patut diuji, dalam sengketa hak milik. Terkhusus sengketa keperdataan. Apalagi dalam mengeksekusi satu perkara yang mereka anggap wajib untuk menempuh jalur peradilan. “Dan dengan tidak secara sepihak melakukan proses eksekusi secara paksa.”
Pemkot menganulir hak ratusan warga Ujung Tanah ini karena tanah yang ditempati merupakan milik (Almarhum) A Lamakuasseng, yang berasal dari hak adat yang kemudian menjadi titik awal peralihan hak kepada warga. Sehingga warga menempati tanah tersebut puluhan tahun lamanya.
Pada tanggal 6 Juni 2024, warga berbondong mendatangi Kantor DPRD Kota Makassar dan Kantor Wali Kota Makassar. Sebagai konstituen, warga mengklaim memiliki hak untuk tinggal di tanah tanah miliknya. Wujud nyata dalam menyuarakan hak, aksi protes ini berlangsung, warga dengan tegas menolak perintah pengosongan lahan termasuk setidaknya paling lambat pada 7 Juni 2024.
Lontaran aspirasi ini berawal di Dinas Pertanahan di Kantor Pemerintah Kota Makassar, salah seorang pejabat menemui massa aksi dan menerangkan bahwa akan ada rapat pembahasan terkait kasus yang sedang dialami oleh warga Ujung Tanah.
“Bapak Ibu sekalian, kami akan menunda penggusuran. Kami akan melakukan RDP dengan berbagai pihak hari Senin,” ujar Ismail selaku Kabid Pertanahan Pemkot di depan massa aksi dalam siaran pers LBH Makassar.
Warga sempat berdialog di ruangan tertutup bersama pihak Dinas Pertanahan Kota Makassar. Dialog ini diwakili oleh 5 orang warga dan 5 orang pendamping. Setelah berdialog, warga bergeser ke gedung DPRD Kota Makassar. Setibanya di sana, warga menerobos masuk ke ruangan Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Perwakilan DPRD Kota Makassar yang menemui warga, mempertegas apa yang disampaikan Pihak Dinas Pertanahan Kota Makassar. Pihak dewan menambahkan akan memanggil berbagai stakeholder terkait dalam RDP tersebut.
Menurut LBH Makassar, negara atau Pemkot Makassar punya kewajiban untuk menghormati hak atas tempat tinggal yang layak bagi warganya. Itu merujuk pada standar norma dan pengaturan Komnas HAM Nomor 11 tentang Hak Atas Tempat Tinggal Layak, poin ke-92 yang mengatakan bahwa:
“Negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa yang berdampak atas kehidupan atau kelangsungan kehidupan setiap orang. Praktik penggusuran paksa tanpa konsultasi yang nyata (genuine consultation), kompensasi, dan pemukiman kembali (resettlement) yang layak merupakan pelanggaran atas kewajiban negara untuk menghormati.”
Lebih rinci, Pemkot Makassar wajib melindungi hak atas tempat tinggal yang layak bagi warganya sebagaimana tertuang dalam aturan Komnas HAM Nomor 11 tentang Hak Atas tempat Tinggal Layak, pada poin ke-95 menegaskan bahwa:
“Kewajiban untuk melindungi mengharuskan negara bertindak aktif untuk melindungi HAM, baik terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak non-negara, termasuk individu, kelompok masyarakat, atau korporasi.”
Menurut LBH, berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 3 Kovenan Internasional Hak Ekosob, yang diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 terkait pemenuhan Hak Perempuan sebagai kelompok rentan atas praktik diskriminasi, oleh negara dan aktor non-negara, dan menjadi korban penggusuran dan konflik pembangunan infrastruktur yang berdampak terhadap hak atas tempat tinggal yang layak.
Maka kewajiban warga negara seharusnya: “Negara dilarang melakukan diskriminasi, dan harus memperlakukan secara setara (equal) dalam merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak atas tempat tinggal yang layak merupakan bagian dari hak atas standar hidup yang layak.”
Jika penggusuran tetap terjadi, warga tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi kehilangan akses pencarian nafkah, serta pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
“Jika kami digusur, bagaimana makan kami sehari-hari, belum lagi anak sekolah, dulu sekolah gratis, sekarang dibayar, dari mana kami harus mencari? Belum lagi bayar sampah, kami juga tidak pernah mendapat bantuan sosial,” keluh Ibu Muna salah satu warga terdampak.
Hingga kini, perkara ini terus bergulir. Warga Ujung Tanah merupakan deretan korban upaya penyingkiran dari ruang hidup dan akan menjadi bagian kisah dari Warga Bara-Baraya dan Beroanging, yang akan tersingkir dari ruang penghidupannya. Warga di dua lokasi itu juga terancam digusur.
Advokat publik LBH Makassar, Melisa Ervina menyebut, praktik penggusuran atau perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh negara atau pemerintah kota, bukan pertama kalinya di Kota Makassar.
Alih-alih melindungi dan mensejahterakan warga, negara malah mengutamakan pembangunan infrastruktur dan kepentingan perusahaan. “Praktik penggusuran ini pun tanpa melibatkan masyarakat terdampak dan melakukan intimidasi dengan melibatkan aparat keamanan,” pungkasnya.